SERBA UNIK UNIKMU.... Gayamu... MiLiKi sEgEra KoLekSi sAnDal UnIk dAn kReAsi KaiN fAnel dEngAn moDel yaNg LucU daN MengGemaSkan BUAT HARIMU SELALU MENYENANGKAN.... Kami juga menawarkan aneka kerajinan bali, lulur bali dan juga batik jogja yang juga serba uNik Pokoknya UNIK Deh...

Minggu, 23 Mei 2010

Waisak


Salah satu hari raya agama Buddha adalah hari raya Trisuci Waisak. Kata “Waisak” sendiri berasal dari bahasa Pali “Vesakha” atau di dalam bahasa Sansekerta disebut “Vaisakha”. Nama “Vesakha” sendiri diambil dari bulan dalam kalender buddhis yang biasanya jatuh pada bulan Mei kalender Masehi. Namun, terkadang hari Waisak jatuh pada akhir bulan April atau awal bulan Juni.

Hari Raya Waisak sendiri dikalangan umat Buddha sering disebut dengan hari raya Trisuci Waisak. Disebut demikian karena pada hari Waisak terjadi tiga peristiwa penting, yakni kelahiran Pangeran Sidhartha Gautama, tercapainya penerangan sempurna oleh Pertapa Gautama, dan mangkatnya sang Buddha Gautama. Tiga kejadian tersebut—kelahiran, penerangan, kematian— terjadi pada hari yang sama ketika bulan purnama di bulan Waisak.
Biasanya pada hari waisak, umat Buddha merayakannya dengan pergi ke wihara dan melakukan ritual puja-bhakti. Harus dimengerti bahwa umat Buddha melaksanakan ritual puja-bhakti adalah bertujuan untuk mengingat kembali ajaran sang Buddha, menyontoh perilaku sang Buddha dan melaksanakan ajaran agama Buddha. Bagi umat Buddha, hal tersebut berarti menaati peraturan moral, seperti menghindari pembunuhan makhluk hidup, mencuri, berbuat asusila, berbohong dan mabuk-mabukkan. Selain kelima larangan tersebut, umat Buddha ketika hari Waisak biasanya mengembangkan cinta-kasih dengan cara membantu fakir-miskin atau mereka yang membutuhkan, melepas hewan (biasanya burung) sebagai simbol cinta-kasih dan penghargaan terhadap lingkungan, serta merenungkan segala perbuatan yang telah dilakukan apakah baik atau buruk sehingga diharapkan di masa mendatangkan tidak mengulangi perbuatan yang buruk yang dapat merugikan.
Waisak sebagai sebuah hari raya agama Buddha bisa memberikan contoh yang positif kepada setiap orang. Contoh positif yang dapat diteladani adalah pengembangan cinta-kasih kepada setiap makhluk hidup. Wujudnya bisa berupa berdana membantu mereka yang membutuhkan, mendonorkan darah, menjaga lingkungan sekitar dengan hidup sederhana atau perbuatan-perbuatan baik lainnya. Akhirnya satu harapan besar dari hari Waisak tersebut adalah bahwa setiap manusia diharapkan dapat merenungi segala perbuatannya dan setiap saat selalu hidup dengan rasa cinta-kasih tanpa kebencian, seperti yang tertulis di dalam Dhammapada, “Kebencian tidak akan selesai jika dibalas dengan kebencian, tetapi hanya dengan memaafkan dan cinta-kasihlah maka kebencian akan lenyap.

Senin, 10 Mei 2010

Makna Galungan dan Kuningan

Rangkaian Hari Raya Galungan dan Kuningan

Persiapan perayan hari raya Galungan dimulai sejak Tumpek Wariga disebut juga Tumpek Bubuh, pada hari ini umat memohon kehadapan Sanghyang Sangkara, Dewanya tumbuh tumbuhan agar Beliau menganugrahkan supaya hasil pertanian meningkat. Setelah itu wrespati Sungsang adalah hari Sugihan Jawa merupakan pensucian bhuwana agung dilaksanakan dengan menghaturkan pesucian mererebu di Merajan, pekarangan, rumah serta menyucikan alat-alat untuk hari raya Galungan. Besoknya Sukra Kliwon Sungsang disebut hari Sugihan Bali, pada hari ini kita melaksanakan penyucian bhuwana alit, mengheningkan pikiran agar hening, heneng dan metirta gocara. Selanjutnya Redite Paing Dungulan disebut penyekeban.
Pada hari ini adalah hari turunnya Sang Kala Tiga Wisesa, maka pada hari ini para wiku dan widnyana meningkatkan pengendalian diri (anyekung adnyana). Besoknya Soma Pon Dungulan disebut penyajaan pada hari ini tetap menguji keteguhan sebagai bukti kesungguhan melakukan peningkatan kesucian diri seperti yoga semadi. Selanjutnya Anggara Wage Dungulan disebut penampahan melakukan bhuta yadnya ring catur pate atau lebuh di halaman rumah, agar tidak diganggu Sang Kala Tiga Wisesa. Besoknya Buda Kliwon Dungulan disebut Hari Raya Galungan umat Hindu melakukan pemujaan kepada Tuhan dengan segala manifestasi-Nya. Wrespati Umanis Dungulan disebut Manis Galungan, umat saling kunjung-mengunjungi dan maaf-memaafkan. Selanjutnya Saniscara Pon Dungulan disebut pemaridan guru pada hari ini umat melaksanakan tirta gocara, Redite Wage Kuningan disebut ulihan kembalinya Dewa dan Pitara kekahyangan.
Selanjutnya Soma Kliwon Kuningan disebut Pemacekan Agung Dewa beserta pengiringnya kembali dan sampai ketempat masing-masing. Sukra Wage Kuningan disebut Penampahan Kuningan adalah persiapan untuk menyambut hari Raya Kuningan. Besoknya Saniscara Kliwon Kuningan hari Raya Kuningan, pada hari ini umat Hindu memuja Tuhan dengan segala manifestasinya. Upacara menghaturkan saji hendaknya.dilaksanakan jangan sampai lewat tengah hari, mengapa ? Karena pada tengah hari para Dewata diceritakan kembali ke swarga. Kemudian yang paling akhir dari rangkaian hari raya Galungan yaitu Buda Kliwon Pahang disebut pegat uwakan akhir dari pada melakukan peberatan Galungan sebagai pewarah Dewi Durga kepada Sri Jaya Kasunu ditandai dengan mencabut penjor kemudian dibakar, abunya dimasukkan kedalam bungkak gading ditanam di pekarangan.

Makna Hari Raya Galungan dan Kuningan

Dharma dan Adharma Pada hari raya suci Galungan dan Kuningan umat Hindu secara ritual dan spiritual melaksanakannya dengan suasana hati yang damai. Pada hakekatnya hari raya suci Galungan dan Kuningan yang telah mengumandang di masyarakat adalah kemenangan dharma melawan adharma. Artinya dalam konteks tersebut kita hendaknya mampu instrospeksi diri siapa sesungguhnya jati diri kita, manusia yang dikatakan dewa ya, manusa ya, bhuta ya itu akan selalu ada dalam dirinya. Bagaimana cara menemukan hakekat dirinya yang sejati?, "matutur ikang atma ri jatinya" (Sanghyang Atma sadar akan jati dirinya).
Hal ini hendaknya melalui proses pendakian spiritual menuju kesadaran yang sejati, seperti halnya hari Raya Galungan dan Kuningan dari hari pra hari H, hari H dan pasca hari H manusia bertahan dan tetap teguh dengan kesucian hati digoda oleh Sang Kala Tiga Wisesa, musuh dalam dirinya, di dalam upaya menegakkan dharma didalam dirinya maupun diluar dirinya. Sifat-sifat adharma (bhuta) didalam dirinya dan diluar dirinya disomya agar menjadi dharma (Dewa), sehingga dunia ini menjadi seimbang (jagadhita). Dharma dan adharma, itu dua kenyataan yang berbeda (rwa bhineda) yang selalu ada didunia, tapi hendaknyalah itu diseimbangkan sehingga evolusi didunia bisa berjalan.
Kemenangan dharma atas adharma yang telah dirayakan setiap Galungan dan Kuningan hendaknyalah diserap dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Dharma tidaklah hanya diwacanakan tapi dilaksanakan, dalam kitab Sarasamuccaya (Sloka 43) disebutkan keutamaan dharma bagi orang yang melaksanakannya yaitu :
"Kuneng sang hyang dharma, mahas midering sahana, ndatan umaku sira, tan hanenakunira, tan sapa juga si lawanikang naha-nahan, tatan pahi lawan anak ning stri lanji, ikang tankinawruhan bapanya, rupaning tan hana umaku yanak, tan hana inakunya bapa, ri wetnyan durlaba ikang wenang mulahakena dharma kalinganika".
Artinya:
Adapun dharma itu, menyelusup dan mengelilingi seluruh yang ada, tidak ada yang mengakui, pun tidak ada yang diakuinya, serta tidak ada yang menegur atau terikat dengan sesuatu apapun, tidak ada bedanya dengan anak seorang perempuan tuna susila, yang tidak dikenal siapa bapaknya, rupa-rupanya tidak ada yang mengakui anak akan dia, pun tidak ada yang diakui bapa olehnya, perumpamaan ini diambil sebab sesungguhnya sangat sukar untuk dapat mengetahui dan melaksanakan dharma itu.
Di samping itu pula dharma sangatlah utama dan rahasia, hendaknyalah ia dicari dengan ketulusan hati secara terus-menerus. Sarasamuccaya (sloka 564) menyebutkan :
"Lawan ta waneh, atyanta ring gahana keta sanghyang dharma ngaranira, paramasuksma, tan pahi lawan tapakning iwak ring wwai, ndan pinet juga sire de sang pandita, kelan upasama pagwan kotsahan".
Artinya:
Lagi pula terlampau amat mulia dharma itu, amat rahasia pula, tidak bedanya dengan jejak ikan didalam air, namun dituntut juga oleh sang pandita dengan ketenangan, kesabaran, keteguhan hati terus diusahakan.
Demikianlah keutamaan dharma hendaknyalah diketahui, dipahami kemudian dilaksanakan sehingga menemukan siapa sesungguhnya jati diri kita. (WHD No. 436 Juni 2003).

Template by : serbaunique.blogspot.com